YLBHI Sayangkan Kriminalisasi Pendamping Korban Kekerasan Seksual di Jogja dan Upaya Polda DIY Lindungi Terduga Pelaku

Oleh: Muhammad Isnur (*)

Polda DIY menetapkan Meila Nurul Fajriah sebagai Tersangka pencemaran nama baik sesuai dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE jo Pasal 45 Ayat (3) UU ITE. Penetapan ini bermula saat Meila melakukan pendampingan kasus Kekerasan Seksual di Yogyakarta. 

Pendampingan kasus ini dimulai pada April 2020 dan Meila sebagai Pengacara LBH Yogyakarta melakukan pembelaan terhadap 30 korban kekerasan seksual baik langsung maupun secara online yang diduga kuat dilakukan oleh satu pelaku yakni IM (mantan Mahasiswa berprestasi Universitas Islam Indonesia). 

Dalam proses advokasi, LBH Yogyakarta tidak sendiri, tetapi bersama lembaga lain termasuk dari Gerakan Mahasiswa di UII yang membuka posko pengaduan sebagai bentuk pelayanan bantuan hukum demi terjaminnya akses keadilan terhadap korban. Pada saat kasus ini ditangani, ada bacaan bahwa terdapat indikasi korban akan semakin banyak sehingga ada kebutuhan untuk menjalin kerja bersama dengan jaringan organisasi masyarakat sipil lainnya. 

Pada tahun 2020, IM melaporkan 3 orang pengacara LBH Yogyakarta termasuk Meila ke Polda DIY dengan tuduhan pencemaran nama baik karena menyebutkan nama lengkap IM saat melakukan siaran pers. Alih-alih mendapatkan dukungan dan perlindungan oleh aparat penegak hukum, Meila justru ditetapkan tersangka. 

Selama proses penanganan kasus ini, Penyidik tidak berdiri atas asas kredibilitas dalam penyidikan sebagaimana diatur dalam Perkapolri No 15/2006 tentang Kode Etik Profesi Penyidik Polri, dimana Penyidik tidak memperhatikan dan berupaya mencari fakta-fakta yang akurat berkaitan dengan kasus KS. Padahal dalam waktu yang bersamaan, LBH Yogyakarta juga telah menginformasikan bahwa kasus ini telah diselidiki oleh pihak universitas dan yang salah satunya telah dibuktikan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai dasar pencopotan status IM sebagai Mahasiswa Berprestasi (Mawapres UII). 

Pasca dicabutnya gelar mahasiswa berprestasi tersebut, IM juga melayangkan gugatan ke UII lewat PTUN Yogyakarta. Dalam persidangan tersebut, Rektor UII melalui Tim Pendampingan dan Advokasi setidaknya menemukan fakta bahwa terdapat 4 korban yang mendapatkan KS dari IM dan berdampak buruk kondisi psikologis korban, bahkan 1 diantaranya sempat berpikir untuk lakukan bunuh diri (Hal 45-46 Putusan No 17/G/2020/PTUN.YK).

Putusan serta pemeriksaan yang dilakukan oleh Rektor UII diatas tidak dijadikan muatan penting oleh Polda DIY sebagai kenyataan, IM telah melakukan tindakan kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU ITE tahun 2021 yang menyebutkan bahwa menyampaikan kenyataan atau fakta bukanlah bagian dari delik pencemaran nama baik. 

Siaran pers yang dilakukan oleh Meila sebagai Pengacara Publik LBH Yogyakarta dilakukan karena Meila menjadi pengacara korban pada saat itu sehingga proses internal di dalam Dewan Kehormatan Advokat harus dilakukan terlebih dahulu jika dianggap ada kesalahan dalam penanganan kasus. 

Hingga saat ini, Meila tidak pernah dilaporkan ke Dewan Kehormatan Advokat dan tidak pernah disidang karena melanggar kode etik advokat, sehingga kami juga melihat penetapan tersangka ini mendelegitimasi proses internal melalui Dewan Kehormatan karena dapat dikatakan tindakan pembelaan Meila tidak bertentangan dengan Kode Etik Profesi Advokat. 

Penetapan tersangka oleh Polda DIY merupakan serangan serius terhadap Perempuan Pembela HAM dan/atau pendamping korban kekerasan seksual yang pada akhirnya menjadi preseden buruk kepada seluruh korban kekerasan seksual di tanah air. 

Polda DIY telah serampangan dan menganulir hak impunitas advokat sebagaimana diatur dalam UU 18/2003 tentang Advokat, hak impunitas pemberi bantuan hukum sebagaimana dalam UU 16/2011 Bantuan Hukum dan hak impunitas pendamping korban dalam UU 12/2022 tentang TPKS yang kesemuanya dimiliki Meila sebagai Pengacara, sebagai pemberi bantuan hukum dan sebagai Pendamping Korban. 

“Perempuan Pembela HAM/Women Human Right Defender (WHRD)  seharusnya menjadi salah satu elemen kunci dalam mendorong penegakan hak asasi manusia di masyarakat. Kriminalisasi terhadap WHRD menunjukkan WHRD masih berada dalam posisi rentan dan jelas merupakan upaya untuk melemahkan perjuangan. Ini menggambarkan perlindungan bukan hanya kepada WHRD, namun juga perempuan korban kekerasan, belum sepenuhnya dilakukan dan menjadi perhatian negara,” Indiah Wahyu Andari, Direktur Rifka Annisa Woman Crisis Centre. 

Selain rentannya Perempuan Pembela HAM, kondisi korban kekerasan seksual juga menemui tantangan yang serupa. Ika Agustina Direktur Eksekutif Kalyanamitra juga mengatakan, korban kekerasan seksual sampai saat ini sulit mendapatkan akses keadilan karena berbagai kendala dalam sistem hukum di Indonesia, salah satunya terkait dengan perspektif aparat penegak hukum kita yang belum berperspektif gender. 

“Kasus-kasus kekerasan seksual yang dilaporkan seringkali dianggap masih kurang bukti dan saksi oleh aparat penegak hukum. Bahkan korban dilaporkan balik oleh pelaku dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pendamping korban seringkali juga mendapat intimidasi dan teror dari pelaku, tanpa ada perlindungan dari institusi penegak hukum,” ujar Ika.

Senada dengan itu, Dimas Bagus Arya Koordinator KontraS menyampaikan, kepolisian tidak berpihak kepada korban dan justru menjadi pelaku pelecehan terhadap profesi advokat. 

“Kita bisa melihat pola Kill The Messenger terjadi kembali dalam kasus ini sehingga telah menihilkan peran pendampingan yang dilakukan oleh Meila terhadap para korban dan mengalihkan beban tanggung jawab dari yang seharusnya fokus memberikan sanksi kepada terduga pelaku, malah justru membebankannya ke pendamping,” tutur Dimas.

Selain itu, lanjut Dimas, dirinya melihat kepolisian telah cacat logika dalam memproses penetapan tersangka. 

“Sudah seharusnya polisi menghentikan kasus karena tidak memenuhi delik pencemaran nama baik karena yang disampaikan oleh Meila adalah bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik bila merupakan penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan sebagaimana diatur dalam poin C SKB Pedoman UU ITE,” tegas Dimas. 

“Meski kami bergerak di isu lingkungan namun kasus KS adalah isu kita bersama. Kami menyesalkan tindakan hukum yang dilakukan Polda DIY kepada Meila, apa yang dilakukan adalah menunjukkan bahwa APH yangs seharusnay berada di garis depan untuk melindungi para korban tapi belum memahami urgensi UU TPKS,” Khalisah Khalid perwakilan Greenpeace Indonesia

Selain itu, Nenden Sekar Arum Direktur Eksekutif SAFEnet mengungkapkan, kasus ini menunjukkan pasal karet yang ada di UU ITE sangat berbahaya dan efektif untuk mengkriminalisasi pihak-pihak yang kritis. 

“Kita perlu melihat pasal 27 ayat 3 UU ITE sebagai suatu muatan yang bermasalah dan bagaimana hasil revisi kedua UU ITE masih belum memperhatikan aspek kepekaan gender dan perspektif hak digital,” jelas Nenden.

Eni perwakilan dari Kolektif Purple Code juga menambahkan, kriminalisasi yang terjadi terhadap Meila menjadi momok yang menakutkan bagi korban-korban kekerasan seksual yang sedang berjuang. 

“Bagaimana tidak karena pendamping korban sendiri menjadi target kriminalisasi oleh terduga pelaku,” ucap Eni.

Merespon dukungan kepada Meila, Keluarga LBH-YLBHI mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang menyatakan sikap Meila tidak sendiri. Meila adalah advokat dan pelaksana bantuan hukum, kriminalisasi ini adalah menihilkan upaya-upaya negara dalam penegakan hukum. Ini bukan hanya Meila dan LBH-YLBHI, namun ini tentang kita semua; para korban, penyintas, keluarga dan orang terdekat kita.

Pada akhirnya, kriminalisasi ini adalah jalan mundur yang dilakukan oleh Polda DIY ditengah komitmen seluruh elemen bangsa Indonesia yang saat ini secara bersama-sama mendukung korban kekerasan seksual dan melawan budaya dan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh siapapun sebagaimana dalam UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. 

Alih-alih Polda DIY sebagai institusi garda terdepan menjalankan UU TPKS, justru tindakan kontraproduktif yang mereka pilih yakni melindungi Pelaku dan mengkriminalisasi pendamping korban. 

Atas dasar point-point di atas, kami jaringan masyarakat sipil mendesak:

1. Kapolri Listyo Sigit Prabowo secara langsung melakukan evaluasi yang menyeluruh terhadap Kapolda DIY;

2. Kapolda DIY Suwondo Nainggolan segera mencabut dan menghentikan segala proses kriminalisasi Perempuan Pembela HAM, Pengacara dan Pendamping Korban atas nama Meila Nurul Fajriah; 

3. Kompolnas melakukan pengawasan yang holistik terhadap Kapolda DIY serta Tim Penyidik Polda DIY yang menangani perkara a quo dengan menjamin profesionalisme dan akuntabilitas serta mengevaluasi seluruh proses kriminalisasi Meila Nurul Fajriah;

4. Komnas Perempuan memberikan atensi besar terhadap Kriminalisasi Meila Nurul Fajriah dan mengevaluasi seluruh proses penetapan tersangka kepada Meila Nurul Fajriah;

5. Mengajak seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk melawan tindakan kekerasan seksual, melindungi korban kekerasan seksual dan melawan segala tindakan yang mengancam pendamping korban maupun Pembela HAM.

*Penulis adalah Ketua Umum YLBHI

Tinggalkan Balasan