Kehadiran Influencer di IKN Bisa Jadi Bumerang

Oleh: Jamiluddin Ritonga (*)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan berkantor tiga hari di Ibu Kota Negara (IKN) dengan membawa sejumlah influencer dan pegiat seni.

Kehadiran influencer bersama Jokowi di IKN tentu aneh dan mengejutkan. Sebab, tidak jelas relevansi dan urgensi kehadiran influencer dengan rencana Jokowi berkantor tiga hari di IKN.

Namun demikian, ada dua kemungkinan influencer dilibatkan dalam kerja Jokowi selama di IKN.

Pertama, influencer dilibatkan untuk meng-counter issue negatif terkait IKN. Isu negatif itu memang sudah mengemuka sejak Jokowi menyatakan ibu kota pindah ke IKN.

Isu negatif itu terus menguat hingga Jokowi gagal berkantor di IKN pada awal Juli 2024. Pembangunan dasar yang belum selesai dijadikan dasar untuk menyerang ketidakberesan pembangunan IKN.

Minimnya investor yang mau berinvestasi juga menjadi isu negatif terkait IKN. Hal itu membuat pesimis sebagian anak bangsa akan keberlanjutan pembangunan IKN.

Kehadiran Influencer diharapkan dapat meng-counter semua isu negatif tersebut. Untuk itu, Jokowi tampaknya sengaja melibatkan influencer dalam meresmikan jembatan. Bahkan, Jokowi bersama influencer menaiki motor untuk menggambarkan kelayakan IKN.

Para influencer itu tentu akan mengemas informasi peresmian itu menjadi beragam counter. Substansi isinya, meskipun akan dikemas beragam format penyajian, tentu ingin menyampaikan semua pembangunan di IKN berjalan lancar. Pesan-pesan itu tentu untuk meng-counter tidak benar pembangunan di IKN mengalami banyak kendala.

Pesan-pesan sukses pembangunan di IKN yang dikemas influencer itu diharapkan juga akan memengaruhi investor mau berinvestasi di IKN. Kalau ini juga yang menjadi tujuan menghadirkan influencer, tentu relatif keliru.

Sebab, investor kelas kakap tentu tidak mengkonsumsi medsos yang kerap digunakan influencer untuk menyampaikan kontennya. Bahkan, investor juga tidak menjadi pengikut influencer tersebut.

Padahal, semua tahu, pesan akan berpeluang menimbulkan efek tertentu minimal pesannya sampai kepada khalayak sasaran. Karena itu, tentu sulit konten yang dikemas influencer dapar mempengaruhi investor untuk berinvestasi.

Jadi, kalau kehadiran influencer diharapkan dapat menggugah para investor, tentu hal itu tindakan yang keliru. Ini artinya, melibatkan influencer dalam kegiatan Jokowi berkantor tiga hari di IKN sangat tidak efisien dan tidak efektif.

Dua, kehadiran influencer diharapkan dapat mengemas konten agar masyarakat Indonesia mendukung IKN. Hal itu perlu dilakukan karena dukungan masyarakat terhadap pembangunan IKN selama ini relatif rendah.

Hal itu terjadi karena penetapan IKN dilakukan dengan pendekatan top down, bukan bottom up sebagaimana layaknya di negara demokrasi. Ini artinya, ibu kota negara dipindahkan semata keputusan elite politik, khususnya Presiden Jokowi. Bahkan, Jokowi yang menetapkan tempat ibu kota yang baru.

Padahal, pemindahan ibu kota tidak ada dalam janji kampanye Jokowi. Karena itu, pemindahan ibu kota di luar rencana Jokowi untuk periode 2019-2024.

Kalau pun DPR RI dilibatkan, hal itu hanya justifikasi belaka. Mekanisme ini sengaja tetap dipenuhi untuk menunjukkan demokrasi tetap berjalan di Indonesia. Di sini berlaku demokrasi prosedural, bukan demokrasi substansi dalam menetapkan pemindahan ibu kota.

Karena rakyat tidak dilibatkan dalam memutuskan pemindahan ibu kota, maka sebagian masyarakat juga masa bodoh. Hal itu membuat IKN seolah tanpa makna. Sebab, apalah artinya pembangunan IKN bila sebagian rakyatnya saja tidak mendukung.

Agar masyarakat memberi dukungan, maka dirasa perlu kehadiran influencer di IKN. Mereka ini diharapkan juga membuat konten untuk meyakinkan masyarakat pentingnya IKN.

Upaya itu bisa jadi efektif untuk meyakinkan masyarakat pentingnya IKN. Namun, efektif itu bisa jadi hanya berlaku pada pengikut influencer yang bersangkutan.

Perlu juga dipahami, efektifnya suatu konten ditentukan juga oleh sikap awal khalayak terhadap konten yang diterimanya.

Kalau konten yang diterima sama dengan sikap awalnya, maka khalayak akan menyetujuinya. Ini artinya, pengikut dari influencer akan mendukung ajakannya, yang dalam hal ini mendukung IKN.

Sebaliknya, bila sikap khalayak tidak sama dengan ajakan konten yang disampaikan influencer, maka hal itu dapat menjadi efek bumerang. Pengikutnya bisa jadi tidak lagi percaya pada si influencer. Akibatnya, influencer itu akan ditinggalkan pengikutnya.

Sebab, hubungan influencer dengan pengikutnya hanya sebatas faktor kepercayaan. Bila pengikutnya sudah tidak percaya, maka influencer akan ditinggalkan.

Karena itu, melibatkan influencer dalam IKN bisa jadi dapat menambah dukungan. Namun demikian, tak menutup kemungkinan dapat menimbulkan antipati baik terhadap IKN maupun influencer itu sendiri. 

Hal itu tentu bak simalakama bagi influencer. Karena itu, influencer perlu berhati-hati dalam menerima order. Sebab tidak semua orderan yang akan dikemas dalam konten akan sesuai dengan sikap awal pengikutnya. Karena itu, berpikirlah sebelum menerima order agar tidak menjadi bumerang.

*Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul dan Dekan Fikom IISIP 1996-1999

Tinggalkan Balasan