Oleh: Jamiluddin Ritonga (*)
Narasi ucapan terima kasih kepada Presiden Jokowi sangat masif di media sosial dan jalan utama di Jakarta.
Bahkan dalam salah satu kemasan audivisual Jokowi disebut datang sebagai pemula, pulang sebagai legenda.
Pesan puja puji terhadap Jokowi tampaknya punya dua tujuan.
Pertama, pendukung fanatik Jokowi ingin menyampaikan prestasi Jokowi selama 10 tahun menjadi presiden. Hal itu mereka lakukan baik melalui udara maupun darat.
Dengan cara tersebut, pendukung Jokowi ingin memberitahukan kepada masyarakat Jokowi presiden monumental. Bagi pendukung fanatiknya, prestasi Jokowi seolah melebihi prestasi presiden sebelumnya.
Karena itu, dari kacamata pendukungnya, prestasi Jokowi layak diapresiasi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kiranya itu yang menjadi dasar munculnya narasi terima kasih Jokowi baik di udara maupun di darat.
Ajakan semacam itu tentu hal yang wajar. Sebab, setiap orang punya hak untuk menyampaikan terima kasih kepada orang lain, termasuk kepada Jokowi.
Namun, hak setiap orang juga untuk tidak berterimakasih kepada Jokowi bila ia menilai selama menjadi presiden tidak bermanfaat kepadanya. Sebab, umumnya orang berterimakasih karena ada yang baik atau sesuatu yaang bermanfaat diterimanya.
Jadi, narasi terima kasih kepada Jokowi tak perlu diumbar di ranah publik, apalagi untuk mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Sebab, ucapan terima kasih itu seharusnya disampaikan dari lubuk hati yang dalam, bukan hasil mobilisasi.
Karena itu, biarkan masyarakat menyampaikan terimakasih kepada Jokowi secara alamiah. Tak perlu seperti orkestrasi untuk memanipulasi citra Jokowi seolah manusia super dengan prestasi monumental.
Dua, narasi terimakasih kepada Jokowi juga untuk meng-counter isu-isu negatif yang menerpa Jokowi. Sebab, di ujung masa jabatannya, bertebaran isu negatif terkait Jokowi, seperti tiga periode, peringatan darurat, dinasti politik, fufufafa, hingga IKN.
Counter juga ditujukan kepada pihak-pihak yang menilai Jokowi gagal dalam membangun ekonomi, politik, demokrasi, dan HAM di Indonesia. Ekonomi yang meroket sebagaimana kerap didengungkan Jokowi dinilai jauh panggang dari api. Hal yang sama juga terjadi pada pembangunan demokrasi, yang dinilai justru terjadi penurunan selama Jokowi berkuasa.
Jadi dengan narasi datang sebagai pemula, pulang sebagai legenda tampaknya ingin meng-counter suara-suara kritis terhadap Jokowi. Narasi ini jelas sangat mendewakan Jokowi.
Jadi, counter melalui narasi terimakasih Jokowi serta datang sebagai pendatang, pulang sebagai legenda, tampaknya bertujuan untuk membersihkan nama Jokowi di akhir masa jabatannya. Dengan begitu, pendukung fanatik Jokowi ingin Jokowi lengser dengan nama harum bak semerbak bunga melati.
Akan tetapi, untuk mengubah itu tidaklah mudah dan perlu waktu. Sebab, mengubah image tidak cukup dengan narasi. Image dapat berubah akan lebih cepat bila ada perubahan perilaku yang menjadi penyebab rusaknya image Jokowi di mata masyarakat.
Karena itu, biarkan Jokowi dinilai masyarakat apa adanya. Jangan paksakan agar masyarakat menilai Jokowi manusia super dengan prestasi monumental. Sebab, Jokowi hanya manusia biasa, yang tak perlu di puja-puja secara berlebihan.
*Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul dan Dekan Fikom IISIP 1996-1999