JAKARTA l Racikan.id – Revisi Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) menjadi polemik di kalangan masyarakat. Hal ini lantaran pembahasan RUU tersebut dilakukan pada masa reses, yakni pada Senin (13/5/2024) lalu. Apalagi RUU MK ini pun tidak masuk Prolegnas Prioritas 2024.
Tak heran publik pun merasakan adanya kejanggalan dengan tindakan para anggota dewan yang terhormat tersebut.
Menyikapi hal itu, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Ashiddiqie menyarankan, seharusnya pembahasan revisi RUU MK dilaksanakan oleh para anggota DPR RI periode mendatang.
“Ya saya rasa ini kan karena agenda yang lama, salahnya kan mengapa ditunda mestinya ditolak saja karena tidak keperluan sebetulnya. Apalagi kan sekarang pilpres sudah selesai dan diketahui siapa pemenangnya. Sebaiknya yang seperti ini diserahkan saja pada anggota DPR periode mendatang,” kata Jimly kepada para wartawan di Gedung Nusantara 5, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/5/2024).
Jimly mengatakan, lebih baik RUU MK dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2025 karena telah beredar isu, revisi RUU MK telah dipolitisasi.
“Seharusnya RUU MK itu masukkan ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2025 kan bisa, tidak usah sekarang untuk apa. Apalagi itu kan bisa dipersepsi macam-macam seakan-akan mau mengerjai salah satu atau dua orang hakim MK untuk diberhentikan. Nah hal itu kan jadi politis,” cetus Anggota DPD RI ini.
Jimly mengaku khawatir kerja-kerja MK yang maraton sebagai pengadil terakhir persengketaan pemilu maupun pilkada akan terganggu dengan adanya pembahasan revisi RUU MK ini.
“Jadi tidak ada keperluannya, apalagi MK kan sudah menjalankan tugasnya sebagai pengadil terakhir hasil Pemilu 2024 di mana pada 20 Juni mendatang baru selesai, nanti dilanjutkan lagi dengan Pilkada serentak 2024. Jadi kerja maraton mereka itu jangan diganggu dengan isu-isu politik teknis yang medioker, tidak penting itu,” ujar Jimly.
Namun, menurut Jimly, revisi RUU MK tetap diperlukan.
“Bukan berarti revisi RUU MK ini tidak perlu ya, kan ada perubahan paradigma pada rekruitmen sistem hakim konstitusi yang dulunya periodisasi 5 tahunan sekarang ini diubah menjadi usia, yakni 55-70 tahun, tetapi dibatasi hanya 10 tahun. Nah prinsip ini bagus supaya rekruitmen hakim konstitusi itu tidak terganggu oleh dinamika politik 5 tahunan sehingga baik untuk independensi,” tutur Jimly.
Yang menjadi masalah, lanjut Jimly, justru masa transisinya ke mana.
“Kan ada hakim yang masih muda dan sudah tua sehingga timbul problem, sehingga menurut saya untuk apa diganti-ganti lagi. Sudah biarkan saja sampai 10 tahun yang ada ini yang usianya akan menginjak 70 tahun ya biarkan saja menjabat sampai habis batas usianya. Toh pilpres kan sudah selesai,” tegas Jimly.
“Jadi tidak ada kepentingan teknis dan praktis baik bagi pemerintahan saat ini maupun pemerintah yang akan datang. Khusus untuk pemerintahan sekarang kan sudah tidak ada kepentingan lagi. Untuk apa begitu? Sudah ditolak saja,” sambung Jimly.
Jimly menegaskan, pemerintah dapat menolak revisi RUU MK.
“Tergantung pada pemerintah. Itu ada UU tahun 2004 atau 2005 yaitu UU tentang Pelabuhan Bebas Batam. Sudah diketok palu oleh DPR tapi dalam pidato terakhir di rapat paripurna DPR RI, Menperindag Rini Soewandi dalam pidatonya menyampaikan pemerintah tidak setuju dengan UU ini walaupun DPR sudah ketok palu tidak bisa diundangkan karena tidak persetujuan yang lama. Jadi posisi pemerintah itu kuat sekali untuk menyatakan yes or no,” tegas Jimly.
Menurut Senator asal Sumsel ini, kepentingan pemerintah dalam revisi RUU MK ini tidak ada sama sekali karena Pemilu 2024 sudah selesai.
“Jadi biarkan saja! Sebaiknya diserahkan untuk menjadi agenda Prolegnas Prioritas tahun 2025,” pungkas Jimly Ashiddiqie. (***)