JAKARTA l Racikan.id – Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengkritik kinerja anggota DPR RI jelang masa akhir periode 2019-2024.
Peneliti Formappi Lucius Karus menyebut, pihaknya belum pernah menemukan ada satu masa sidang di mana evaluasi itu ditunjukkann dengan kinerja positif.
Hal itu disampaikannya pada konferensi pers Formappi bertajuk “Menjelang Akhir Periode, Kinerja DPR Masih Seperti Awal Periode, Evalusi MS IV Tahun Sidang 2023-2024”, di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta Timur, Senin (13/5/2024).
“Kini hampir selesai lima tahun masa kerja DPR, dari masa sidang ke masa sidang, salalu sama, lebih banyak satu masa sidang itu tidak menghasilkan satu produk legislasi, begitu juga fungsi DPR lainnya,” kata Lucius.
Menurut Lucius, hal itu yang membuat Formappi merasa DPR RI yang sudah mau berakhir masa baktinya, tapi kinerjanya seperti baru dilantik.
“Jadi tidak ada bukti mereka sudah 4 tahun bekerja tapi masih standar saja,” imbuh Lucius.
Lucius menyebut, sejumlah hal menjadi indikator minimnya kinerja para anggota Dewan.
Peneliti Formappi Taryono menyebut, semenjak MS IV dibuka pada 5 Maret 2024, tidak banyak dinamika pembahasan RUU di DPR yang mengundang perhatian publik.
Taryono menilai, pembicaraan terkait substansi legislasi nampaknya tenggelam di balik gemuruh isu pemilu, apalagi DPR RI sendiri nampak tak berusaha untuk melibatkan publik dalam proses pembahasan beberapa RUU.
“DPR terkesan memanfaatkan situasi di tengah konsentrasi publik membicarakan hasil Pemilu, mereka diam-diam menyetujui sejumlah RUU untuk disahkan menjadi UU maupun persetujuan proses pembahasan hingga persetujuan sejumlah RUU menjadi usul inisiatif DPR,” ujar Taryono.
Taryono menjelaskan, hanya terdapat 2 RUU yang akhirnya berhasil disahkan DPR pada MS IV yaitu Revisi UU Desa dan RUU tentang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ).
Menurut Taryono, pengesahan 2 RUU ini hanya mengurangi 1 dari 47 Daftar RUU Prioritas 2024 karena Revisi UU Desa termasuk dalam Daftar RUU Kumulatif Terbuka.
“Jadi hanya 1 RUU yaitu RUU Daerah Khusus Jakarta yang berhasil disahkan DPR dari 47 RUU Daftar Prioritas 2024,” ujar Taryono.
Lebih lanjut Taryono berpendapat, baik RUU Desa maupun RUU DKJ sama-sama dibahas secara terburu-buru oleh DPR RI.
Revisi UU Desa, lanjut Taryono, mengulangi kebiasaan DPR RI yang merevisi sebuah regulasi tanpa evaluasi dan kajian mendalam atas pelaksanaan UU Desa sebelumnya.
“Revisi sekadar untuk menyenangkan Kepala Desa yang masa jabatannya diperpanjang untuk 1 periode dengan anggaran desa yang akan bertambah. Revisi ini hanya menyasar pada aparat desa, bukan kepada masyarakat desa,” ucap Taryono.
Sementara itu, ulas Taryono, RUU Daerah Khusus Jakarta juga nampak tak cukup matang didiskusikan.
“Bagaimana Jakarta baru yang bukan lagi ibukota negara didesign untuk kepentingan tertentu belum cukup tergambar jelas pada UU DKJ ini. DPR dan Pemerintah nampaknya hanya fokus pada pembentukan Kawasan Aglomerasi yang semula disiapkan untuk dipimpin oleh wakil presiden, namun diubah menjadi kewenangan yang dimiliki Presiden untuk menunjuk ketuanya,” papar Taryono.
Taryono menambahkan, pengesahan 1 RUU dari 47 Daftar RUU Prioritas 2024 merupakan potret buram kinerja legislasi DPR RI.
Taryono mengatakan, dengan capaian tersebut, beban kinerja legislasi DPR masih banyak (46 RUU).
“Beban itu nampaknya akan semakin berat mengingat waktu bekerja DPR yang hampir usai pada 1 Oktober mendatang,” ingat Taryono.
“Dengan mencermati kinerja legislasi selama ini, bisa dipastikan seluruh sisa prolegnas prioritas tahun 2024 dan usulan RUU inisiatif DPR tersebut tidak mampu diselesaikan oleh DPR masa bakti 2019-2024,” pungkas Taryono. (***)