JAKARTA l Racikan.id – Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal merespons pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang menyebut salah satu tujuan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% diperlukan untuk menjaga kesehatan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Cucun pun mengingatkan Sri Mulyani bahwa kenaikan PPN tersebut berpotensi meningkatkan inflasi.
“Pemikul beban PPN adalah konsumen akhir, sedangkan perusahaan dapat mengkreditkan PPN sebagai pajak masukan. Pada akhirnya harga barang dan jasa akan memengaruhi tingkat inflasi,” ujar Cucun kepada wartawan, Rabu (20/11/2024).
Cucun pun menyinggung bagaimana kenaikan PPN yang berdampak positif terhadap penerimaan negara dan harus dibayar dengan inflasi yang tinggi pada 2022. Pada tahun tersebut, inflasi mencapai 5,51%.
Meski kenaikan tarif PPN bukan satu-satunya faktor penyumbang angka inflasi, tetapi kebijakan tersebut menjadi salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap kenaikan inflasi. Pasalnya, peningkatan tarif meningkatkan biaya produksi bagi produsen yang kemudian dapat direspons dengan menaikkan harga jual produk mereka.
“Kenaikan harga produk dan jasa akan langsung memengaruhi indeks harga konsumen, salah satu indikator inflasi. Namun, masalahnya, kenaikan inflasi tak diikuti dengan kenaikan upah yang signifikan,” kata Cucun.
Cucun melanjutkan, dampak dari kondisi ini dapat memengaruhi kesejahteraan masyarakat dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan, terutama terkait daya beli masyarakat.
“Selain itu, potensi restitusi PPN juga akan meningkat seiring dengan kenaikan tarif PPN, yang memerlukan biaya administrasi lebih besar bagi pemerintah,” ujar Cucun.
Lebih lanjut, Cucun menilai tarif pajak yang tinggi dapat menurunkan kepatuhan pajak di tengah masyarakat.
“Jika tarif PPN terlalu tinggi, ada potensi masyarakat akan mencari cara untuk menghindari atau mengurangi kewajiban pajak. Oleh karena itu, perlu diperhatikan apakah tarif PPN yang diusulkan akan efektif dalam meningkatkan penerimaan pajak atau justru memengaruhi kepatuhan pajak,” jelas Cucun.
Apalagi, kata Cucun, kekhawatiran adanya efek turunan dari rencana kenaikan PPN 12%, yang juga menjadi perhatian banyak ekonom.
Pasalnya, lanjut Cucun, kebijakan tersebut dikeluarkan di tengah daya beli masyarakat yang tengah menurun.
“Para pakar juga menilai reaksi negatif publik yang muncul terhadap rencana ini pun menandai masyarakat tidak percaya kepada pemerintah kalau uang pajak yang mereka bayar akan kembali ke masyarakat dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial,” tutur Cucun.
Cucun memahami, perubahan kenaikan tarif PPN 12% otomatis berlaku pada tanggal 1 Januari 2025 karena merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Namun, Cucun menyebut pemerintah sebenarnya memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN berdasarkan Pasal 7 ayat (3) UU HPP, dengan PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Cucun menyatakan, akan melihat dampak kenaikan PPN 12%. Jika berpengaruh signifikan terhadap perekonomian, ia akan mendorong revisi tarif PPN kembali menjadi 11% melalui penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan dengan DPR.
“Masih ada fleksibilitas perubahan PPN sesuai aturan tersebut. Kalau memang dampak kenaikan PPN tahun depan sangat berdampak besar, kita harus dorong adanya pengurangan. Ini harus jadi perhatian penting karena nasib jutaan rakyat menjadi taruhannya,” pungkas Cucun Ahmad Sjamsurijal.
Kenaikan PPN menjadi 12% merupakan amanat dari UU 7/20221 tentang HPP. Pajak pertambahan nilai (PPN) sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual beli barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak (PKP). PPN merupakan pajak tidak langsung, yang artinya dibayarkan oleh konsumen kepada penjual, tetapi kemudian disetorkan oleh penjual kepada kas negara. (***)