Site icon Racikan.id

Terkait Dugaan Suap Rp12 Miliar, IBC: Praktek Gratifikasi Sudah Lumrah di BPK

JAKARTA l Racikan.id – Kasus dugaan korupsi Menteri Pertanian SYL ternyata melibatkan banyak pihak. Bahkan muncul nama Anggota IV BPK Haerul Saleh yang dikaitkan dengan dugaan suap Rp12 Miliar untuk penerbitan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

“Harus segera memeriksa oknum pejabat BPK yang bersangkutan. Karena memang diduga praktek gratifikasi terkait hasil audit BPK sudah sering terjadi, bukan hanya pada auditor lapangan, namun sudah masuk pada level pimpinan BPK,” ujar Roy kepada para wartawan di Jakarta, Rabu (15/5/2024). 

Oleh karena itu, imbau Roy, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak boleh main-main dan harus menelusuri dugaan aliran dana suap tersebut. 

“Praktek oknum BPK yang diduga meminta dana untuk opini WTP itu termasuk gratifikasi dan ini termasuk kejahatan besar,” kata Direktur Eksekutif Indonesia  Budget Center (IBC), Roy Salam kepada wartawan di Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Seharusnya BPK, lanjut Roy, bisa belajar dari kasus yang menjerat Anggota III BPK Achsanul Qosasih terkait suap proyek BTS. 

“Nah, kalau dugaan suap WTP Kementan ini terjadi lagi, maka oknum BPK itu tidak amanah mengelola uang rakyat. Dengan begitu, tidak ada lagi lembaga yang bisa menggaransi pengelolaan APBD dan APBN,” terang peneliti kebijakan publik ini. 

Ditanya soal peran Majelis Kehormatan Kode Etik BPK agar memeriksa oknum pejabat itu, Roy mengatakan, publik jangan terlalu berharap dengan peran lembaga tersebut. 

“Majelis kode etik ini tidak berfungsi maksimal, karena sifatnya hanya kumpulan anggota majelis yang didominasi pimpinan, apalagi mereka juga bagian kolega. Pengalaman kita selama ini, bahwa sifatnya Majelis Etik hanya menunggu. Jadi tidak mungkin 

pro aktif, nah saat kita melaporkan oknum BPK, kita juga yang harus aktif mencari bukti-bukti,” jelas pegiat anti korupsi ini. 

Lebih jauh Roy mendesak agar Revisi UU BPK harus segera diselesaikan, namun sayangnya usulan Revisi UU tersebut selalu mentok di DPR.

“Terus terang, selama pandemi banyak tata kelola keuangan negara menjadi carut marut. Ini memang bagian kelemahan BPK. Nah, dengan revisi UU BPK, diharapkan menjadi lebih kuat,” pungkas Roy Salam.(***)

Exit mobile version