Rezim Pemerintahan Jokowi Bertanggung Jawab atas Kekerasan dan Pembubaran Diskusi di Jakarta

Oleh: Muhammad Isnur (*)

Dua hari berturut-turut aparat kepolisian telah turut serta melakukan pembubaran ruang demokrasi. Pertama adalah aksi damai Global Climate Strike atau Jeda Iklim Global yang digelar di Taman Menteng, Jakarta pada Jumat (27/9/2024). Aksi tersebut dibubarkan oleh sekelompok preman yang berteriak “bubar!” dan merampas sejumlah property aksi seperti manekin, poster, banner, dan dua alat pengeras suara.

Di saat bersamaan, polisi yang bertugas mengamankan jalannya aksi hanya menyaksikan dan berdiam diri melihat pembubaran aksi tersebut. Berdiri tanpa melakukan upaya apapun untuk menghentikan pembubaran. Aksi Jeda Iklim tahun ini membawa 7 isu utama “7 Dosa Mematikan yang Dilakukan Rezim Mulyono” yang dibarengi dengan “Seruan ‘Mengarak Raja Jawa’”.

Hari Sabtu (28/9/2024) dua agenda yang memanfaatkan ruang demokrasi lainnya juga dibubarkan. Pertama, adalah diskusi Forum Tanah Air di Hotel Kemang yang dihadiri oleh sejumlah tokoh masyarakat seperti Din Syamsudding, Said Didu, Refly Harun Tata Kesantra, Sunarko, dan Rizal Fadhillah dibubarkan secara paksa oleh sekelompok preman.

Mereka, menurut sejumlah peserta diskusi sudah melakukan orasi di depan hotel sejak pagi hari. Ketika acara diskusi hendak dimulai, sekelompok preman merangsak masuk dan mengobrak-abrik ruangan. Polisi yang berada di tempat tersebut juga hanya berdiam diri.

Kedua, adalah aksi September Hitam yang semula hendak digelar di Skate Park Dukuh Atas, Jakarta Selatan di hari yang sama juga dibubarkan. Kali ini pembubaran dilakukan secara langsung oleh aparat kepolisian. Aksi ini selain memperingati tragedi-tragedi pelanggaran HAM berat dalam rentetan sejarah Indonesia, juga menjadi ruang massa aksi untuk menunjukkan dosa-dosa Presiden Joko Widodo selama 10 tahun berkuasa.

Selain itu di dua hari ke belakang terdapat pembubaran serupa. Di Pundonrejo, Pati, perusahaan orang-orang perusahaan PT. Laju Perdana Indah mengintimidasi petani yang sedang memperingati Hati Tani. Di Desa Rante Walla, Tanah Wulu, Sulawesi Selatan, warga yang memprotes penyerobotan lahan oleh PT. Masmindo direspon dengan tembakan gas air mata oleh polisi.

Diatur dalam Standar Norma dan Pengaturan Nomor 3 tentang Hak Atas Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi Komnas HAM RI, ketika terdapat unjuk rasa balasan (counter assembly) terhadap demonstrasi damai, kepolisian berkewajiban untuk “menjaga pihak-pihak berkumpul agar terhindar dari eskalasi dan berupaya menghindari pergesekan fisik dan non-fisik antara mereka, tanpa perlu membubarkan kegiatan”(Standar Nomor 69 huruf b). Dibenturkan dengan praktek pembiaran pembubaran dua kegiatan mengemukakan pendapat di muka umum di atas, polisi jelas bertindak sebaliknya.

Sedangkan dalam menghadapi unjuk rasa mendadak (spontaneous assembly) atau aksi tanpa pemberitahuan, polisi berkewajiban untuk tetap memfasilitas dan menjaka kegiatan tersebut tanpa tindakan diskriminatif (pembubaran) (Standar Nomor 68 huruf a). Sebuah tindakan yang berkebalikan jika kita melihat praktek polisi terhadap aksi masyarakat sipil September Hitam di Skate Park Dukuh Atas, Jakarta sore tadi.

Secara bersamaan, aparat kepolisian juga melanggar Pasal 14 yang mewajibkan mereka untuk: memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum (Pasal 14 huruf a) dan menjamin kebebasan penyampaian pendapat dari intervensi pihak lain (Pasal 14 huruf b).

Ada banyak tindakan serupa di masa Pemerintahan Jokowi. Sebagai contoh pendiaman penyerangan preman di acara The People’s Water Forum Mei lalu, pembubaran paksa dan gathering LBH-YLBHI tahun lalu yang dilakukan oleh para pecalang di Bali. Atau lebih jauh lagi, pembubaran dan pengepungan Asrama Papua Kamasan disertai dengan rasisme 2016 lalu di Yogyakarta. Tak ada pelaku pembubaran satupun yang diseret ke pengadilan.

Diungkap dalam buku Politik Jatah Preman yang ditulis oleh Ian Wilson, kelompok-kelompok geng preman adalah “mitra berharga” bahkan “aset bangsa” yang bisa diberi konsesi-konsesi ekonomi dan politik. Konsesi-konsesi itu diberikan asal mereka mereproduksi peran “serupa negara” dalam memelihara tatanan sosial-politik yang kondusif bagi kepentingan elit politik dan bisnis.

Pembubaran yang dilakukan oleh polisi pun tak kalah banyak. Mulai dari teror sistematis di Asrama Kamasan Surabaya 2019 lalu, penangkapan dan penyiksaan aksi Reformasi Dikorupsi, hingga yang terakhir adalah brutalitas polisi di 10 daerah dalam menghasapi aksi Peringatan Darurat.

YLBHI menduga kuat pembiaran dan pembubaran aksi di dua hari ke belakang secara berturut-turut ini dikarenakan masyarakat sipil yang masing-masing terlibat di dalam 3 agenda tersebut menyuarakan kritik terhadap rezim Jokowi. Memperkuat indikasi kita selama ini bahwa Polri telah menjadi kepanjangan tangan rezim Jokowi dalam mempertahankan kekuasaan.

Bukan bekerja atas amanat Undang-Undang Dasar 1945, sehingga Istana Negara dalam hal ini Presiden Jokowi bertanggung jawab atas pembubaran-pembubaran paksa tiga agenda penyampaian pendapat di muka umum tersebut. Kami mendesak Polri untuk segera melalukan penyidikan dan meminta Jaksa untuk segera menuntut di muka pengadilan para pelaku pembubaran!

*Penulis adalah Ketua Umum YLBHI

Tinggalkan Balasan