Penyalahgunaan Kewenangan Polresta Banda Aceh Dalam Menyikapi Massa Aksi

Oleh: Muhammad Isnur (*)

Penetapan enam orang tersangka atas dugaan tindak pidana ujaran kebencian “Polisi Pembunuh” dan “Polisi Biadab” saat aksi di depan kantor Dewan Perwakilan Aceh (DPRA) pada tanggal 29 Agustus 2024 adalah bentuk kriminalisasi dan penyalahgunaan kewenangan oleh Kasat Reskrim dan Kapolresta Banda Aceh.

Kasat Reskrim dan Kapolresta Banda Aceh sangat memaksa penggunaan Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP terkait ujaran kebencian sebagaimana disebutkan dalam beberapa pemberitaan media. Unsur pasal 156 fokus pada ujaran kebencian terhadap ras, etnis, dan agama. Sedangkan unsur pada pasal 157 berkaitan dengan penyebarluasan kebencian terhadap satu golongan penduduk atau masyarakat.

Polisi bukanlah ras, etnis, apa lagi agama. Kemudian, polisi juga bukan golongan penduduk atau masyarakat. Polisi itu bukan person, polisi itu alat negara atau institusi yang, berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negera.

Sangat tidak tepat jika kritik terhadap institusi negara dianggap sebagai bentuk ujaran kebencian. Bahkan pada tahun 2007, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus tindak pidana ujuran kebencian terhadap Pemerintah Indonesia melalui putusan MK Nomor: 6/PUU-V/2007.

Kriminalisasi seperti ini sangat berbahaya untuk demokrasi, jika praktik seperti ini tidak kita kritisi bersama, maka ke depannya akan terus terulang hal-hal serupa seperti yang dirasakan oleh 6 orang mahasiswa ini. 

Selain itu, berdasarkan keterangan dari 16 orang yang ditangkap oleh pihak Polresta Banda Aceh, beberapa orang juga mengalami penyiksaan saat berada di Mapolresta Banda Aceh. Kemudian juga terkait dengan barang yang disita oleh Satreskrim Polresta Banda Aceh tanpa adanya berita acara penyitaan barang, bahkan sampai dengan hari ini barang-barang mahasiswa itu belum dikembalikan.

Oleh karena hal-hal di atas, kami meminta kepada Kapolri dan Kapolda Aceh untuk segera:

1. Memerintahkan Kasat Reskrim dan  Kapolresta Banda Aceh untuk mencabut status tersangka terhadap 6 orang mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana ujaran kebencian “Polisi Pembunuh” dan “Polisi Biadab” saat aksi demonstrasi di depan kantor DPRA;

2. Memerintahkan Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh untuk segera menghentikan penyidikan proses hukum terhadap 6 orang mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana ujaran kebencian “Polisi Pembunuh” dan “Polisi Biadab” saat aksi demonstrasi di depan kantor DPRA;

3. Memerintahkan Kasat Reskrim dan Kapolresta Banda Aceh untuk segera mengembalikan barang-barang mahasiswa yang disita; dan

4. Mencopot Kasat Reskrim dan Kapolresta Banda Aceh atas tindakan kriminalisasi terhadap mahasiswa. 

*Penulis adalah Ketua Umum YLBHI

Tinggalkan Balasan