Pasca Putusan MK, Partai Gelora: Pemerintah dan DPR Baiknya Segera Lakukan Evaluasi Paket UU Politik

JAKARTA l Racikan.id – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia tidak menduga, jika gugatan yang diajukannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI, bersama Partai Buruh soal ambang batas atau threshold pencalonan kepala daerah menimbulkan turbulensi politik dashyat yang mengubah peta Pilkada 2024.

Hal ini diakui Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPN Partai Gelora, Mahfuz Sidik dalam pengantar diskusi Gelora Talk dengan tema ‘Pilkada 2024 Pasca Putusan MK: Kemana Kehendak Rakyat?’ yang disiarkan di channel GeloraTV, Kamis (29/8/2024).

Mahfuz mengungkapkan awal mula muncul ide untuk menggugat ambang batas pencalonan kepala daerah, usai Partai Gelora dinyatakan tidak lolos ke Senayan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, karena tidak memenuhi threshold parliamentary/PT 4 persen. 

Menindaklanjuti keputusan KPU RI tersebut, tutur pada bulan April pasca putusan KPU, Partai Gelora mengajak diskusi partai politik (parpol) yang tidak memenuhi ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20% kursi dan 25% suara, untuk mengajukan gugatan ke MK RI, karena mereka juga memiliki kursi di DPRD I dan DPRD II.

“Usai Pileg dan Pilpres, Partai Gelora waktu itu sudah diputuskan oleh KPU tidak lolos 4%. Lalu, kita mikir apalagi yang harus kita kerjain agar segera beralih ke agenda Pilkada. Kita temukan ada klausul dalam Pasal 40 ayat 3 UU Pilkada, yang berhak mencalonkan kepala daerah yang punya kursi. Itu yang kita gugat,” ujarnya seraya mengungkapkan kalau awalnya ada 4 partai yang mau ajukan judicial rewiew, tapi kemudian tinggal Partai Gelora dan Partai Buruh yang mengajukan, yang pada tanggal 21 Mei resmi mengajukan gugatannya ke MK RI.

Mahfuz tidak yakin dan pesimis gugatannya bakal dikabulkan, karena hingga bulan Juli, MK RI terus meminta perbaikan gugatan, sementara masa pendaftaran Pilkada Serentak 2024, pada bulan Agustus.

“Kita agak ragu-ragu berkaca dari hasil gugatan kita soal Pilpres, tapi kemudian kita diundang tanggal 20 Agustus untuk mendengar putusan. Ternyata,  putusan yang kita dapatkan, melampaui apa yang kita minta. Kita mintanya, satu dikasih 10 oleh MK,” kata Mahfuz.

Diakui Mahfuz, pasca keputusan MK RI tersebut, Partai Gelora sangat bersyukur, sekaligus bingung. Bersyukur bisa mencalonkan kepala daerah meski tidak punya kursi, sementara bingung karena MK RI membuat aturan baru di dalam Undang-Undang (UU)Pilkada yang menjadi haknya DPR RI selaku pembuat UU, sehingga terjadilah turbulensi yang efeknya terjadinya perubahan peta pilkada dan perubahan itu masih terasa sampai sekarang.

“Ada orang yang pindah tempat duduk, dari di depan ke belakang atau sebaliknya, bahkan ada yang terhempas. Bahkan, akibat Putusan MK RI ini, membuat peta pencalonan kepala daerah menjadi sangat dinamis. Partai Gelora yang pada awalnya hanya mengeluarkan surat rekomendasi B1KWK, SK pencalonan kepala daerah dari 55 rekomendasi menjadi lebih dari 300-an rekomendasi,” ungkap Mahfuz.

Mahfuz berharap pasca putusan MK RI soal ambang batas pencalonan kepala daerah ini, perlu dilakukan harmonisasi paket Undang-undang Politik dan mengevaluasi sistem ketatanegaraan sekarang. 

Alasannya, ucap Mahfuz, karena MK RI telah mengambil wilayah DPR RI selaku pembuat UU, belum lagi soal sengketa Pilkada dan Pilpres sampai mengurusi hal teknis.

“Bahkan MK RI juga tidak konsisten dengan putusannya soal ambang batas pencalonan, di Pilpres kita ditolak dikatakan legal policy-nya DPR RI, tapi di Pilkada justru diterima dan membuat norma baru yang menjadi haknya DPR,” katanya.

Bahkan, mantan Ketua Komisi I DPR RI tersebut menilai kalau MK RI justru semakin menciptakan demokrasi menjadi lebih substatif dan prosedural, membuat prilaku pemilih menjadi pragmatis dan permisif, biaya politik makin tinggi dan menyuburkan praktik korupsi, sehingga bisa merusak, budaya politik dan demokrasi itu sendiri.

“Kita harus evaluasi perjalanan selama 25 tahun ini. Kita harus dudukan lembaga yang ada pada tupoksinya, tidak seperti sekarang carut-marut sampai ada lembaga membajak kewenangan lembaga lain. Semua regulasi harus kita harmonisasi dan konsolidasi,” tuntas Mahfuz Sidik. (***)

Tinggalkan Balasan