Oleh: Jamiluddin Ritonga (*)
Bendahara Umum NasDem Ahmad Sahroni mengatakan, pasangan calon (paslon) di Jakarta ditentukan oleh para dewa.
Sayangnya, para dewa itu memang sulit diidentifikasi secara pasti. Sebab, mereka kerap bergerak secara laten.
Namun, perpolitikan di Indonesia, termasuk menentukan paslon di Pilkada Jakarta 2024, kerap ditentukan oleh sosok yang kuat secara politis dan pemilik kapital (cukong). Mereka ini kerap berkolaborasi dengan petinggi partai dalam menentukan paslon mana yang “boleh” maju dan mana yang tidak.
Hal itu sudah pernah dikemukakan Mahfud MD. Menurutnya, 92 persen calon kepala daerah dibiayai cukong.
Para cukong mau membiayai, karena sejak awal memang sudah menghendaki paslon tersebut. Ini artinya, sejak penjaringan paslon, para cukong sudah melobi petinggi partai. Lobi yang dilakukan bisa secara direct maupun indirect.
Partai yang dilobi tentulah partai besar dan dekat dengan kekuasaan. Mereka inilah yang dapat menentukan hitam putihnya calon yang akan diusung.
Dalam konteks Pilkada Jakarta, tentu para cukong berkepentingan untuk menggagalkan Anies. Sebab, Anies selama menjadi gubernur kerap berseberangan dengan para cukong. Salah satunya terkait reklamasi pantai.
Para cukong tentu melobi petinggi partai yang memiliki kursi yang signifikan. Sebab, mereka ini yang paling berpengaruh dalam menentukan paslon yang akan diusung.
Namun, perpolitikan di Indonesia, petinggi partai juga kerap punya patron yang secara politis punya pengaruh politik sangat kuat. Sosok ini dapat mengarahkan petinggi partai untuk mengusung paslon tertentu.
Karena itu, para cukong juga kerap melobi sosok yang berkuasa secara politis. Melalui jalur ini cukong kerap lebih efektif untuk memastikan paslon yang dikehendakinya maju.
Jadi, dinamika paslon di pilkada, termasuk di Jakarta, sangat ditentukan para cukong, petinggi partai, dan sosok yang berkuasa secara politis. Kiranya mereka ini yang disebut para dewa.
Ditangan mereka paslon bisa lolos atau tidak. Inilah yang kerap memunculkan paslon kejutan yang tiba-tiba muncul menjadi paslon. Padahal paslon kejutan ini kerapkali tidak memenuhi kelayakan popularitas dan elektabilitas.
Bagi para dewa ini, popularitas dan elektabilitas dapat diciptakan dengan segala cara. Karena itu, paslon yang tak memiliki elektabilitas tapi tiba-tiba bisa jadi pemenang. Hal seperti itu bisa terjadi di Indonesia, termasuk tentunya di Jakarta. Ironi memang.
*Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul dan Dekan Fikom IISIP 1996-1999