Oleh: Jamiluddin Ritonga (*)
Hasil Survei Litbang Kompas yang dilaksanakan 15 – 20 Juni 2024 sangat mengejutkan. Penyebabnya, ada lima sosok yang menjadi pertimbangan responden dalam memilih calon pada Pilkada Jakarta.
Lima sosok itu adalah Prabowo Subianto, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Anies Baswedan, Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri.
Lebih mengejutkan lagi, karena pemilih juga akan menentukan pilihannya berdasarkan sejumlah pertimbangan yang meliputi agama, suku, sedang menjabat, sosok pemimpin yang dikagumi, partai politik, dan bantuan uang atau barang.
Pertimbangan responden dalam memilih calon pada Pilkada Jakarta tersebut dapat dikelompokkan menjadi pemilih emosional. Mereka ini memilih berdasarkan faktor suka tidak suka seperti identitas, ideologis, agama, budaya, dan referensi dari sosok yang dikaguminya..
Karena itu, pemilih emosional pada umumnya mudah dimobilisasi. Penyebabnya karena memiliki loyalitas dan fanatisme yang tinggi terhadap calon.
Pemilih emosional seharusnya sudah tidak banyak lagi di Jakarta. Sebab, di Jakarta tempat berkumpulnya orang-orang kelas ekonomi menengah ke atas dan berpendidikan tinggi. Mereka ini pada umumnya kritis dan skeptis.
Pemilih seperti itu disebut pemilih rasional. Mereka ini memilih figur berdasarkan faktor rasional, seperti rekam jejak, visi dan misinya, dan kebijakannya.
Sayangnya, hasil survei Litbang Kompas justru menemukan dominan pemilih emosional. Pemilih rasional justru tidak banyak mengemuka.
Kalau di Jakarta saja lebih banyak pemilih emosional, bisa jadi pemilih di luar Jakarta akan lebih dominan. Hal ini tentunya akan berimplikasi pada kualitas calon yang akan dipilih.
Karena itu, calon di Jakarta yang nantinya terpilih bisa jadi karena ada kedekatan emosional. Kalau sosok itu berkualitas, tentu Jakarta akan mendapat pemimpin yang kredibel dan kapabel. Namun bila si calon tak berkualitas, maka Jakarta akan dipimpin sosok yang tidak kapabel.
Bila hal itu terjadi, maka penilaian Jusuf Kalla ada benarnya. Kualitas pemimpin daerah hasil pemilihan langsung lebih rendah daripada hasil pemilihan pada Orde Baru.
Hal itu terjadi karena pemimpin daerah dipilih lebih banyak oleh pemilih emosional. Hal ini tentu dapat membuat demokrasi di tanah air semakin mundur.
*Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul dan Dekan Fikom IISIP 1996-1999