JAKARTA l Racikan.id – Pertemuan antara Presiden terpilih Prabowo Subianto dengan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dinilai tidak bermanfaat secara politik kecuali PDIP bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
Hal itu disampaikan oleh Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) R Haidar Alwi yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB.
“Bahkan mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya karena tidak ada lagi partai politik yang menjadi kontrol kekuasaan jika PDIP bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran,” kata R Haidar Alwi, Minggu (15/9/2024).
Menurut Haidar, kalaupun itu terjadi tentu tidak mudah dan tidak gratis, ada harga yang harus dibayar misalkan sejumlah kursi menteri untuk PDIP.
Terlebih, lanjut Haidar, PDIP merupakan partai dengan jumlah kursi terbanyak di DPR dan satu-satunya partai yang belum bergabung ke dalam koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Dengan kondisi demikian, PDIP berada pada posisi tawar yang lebih tinggi. Apalagi PDIP tahu bahwa Prabowo tidak menginginkan adanya oposisi. Karena itu, PDIP pastinya akan jual mahal,” jelas Haidar.
Selain itu, tutur Haidar, meskipun Prabowo dan Megawati memiliki hubungan yang sangat baik, ada beberapa faktor yang membuat PDIP sulit bergabung ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Pertama, faktor sejarah. Orde lama versus orde baru. Soekarno versus Soeharto. Dan kita tahu, ada Titiek Soeharto bersama Prabowo,” ungkap Haidar.
R Haidar Alwi meyakini, Orde Baru merupakan mimpi buruk dan memori kelam yang sangat membekas dalam ingatan Megawati.
“Baik pada masa awalnya ketika Soeharto menduduki tampuk kekuasaan menggantikan Soekarno maupun pada akhirnya saat Megawati berperan dalam reformasi tumbangnya Orde Baru,” ujar Haidar.
Kedua, sebut Haidar, faktor SBY.
Haidar melihat, hingga saat ini Megawati belum bisa menerima kekalahannya dari SBY dalam Pilpres 2004.
“Kala itu, SBY yang menjabat Menko Polhukam Kabinet Gotong Royong Megawati dengan Partai Demokrat yang baru didirikannya berhasil mengalahkan Megawati dengan perolehan suara 60,62 persen berbanding 39,38 persen,” beber Haidar.
Dua dekade berlalu, ucap Haidar, pertemuan antara Megawati dan SBY bisa dihitung jari.
“Mereka hanya bertemu di acara-acara resmi dan itu pun hanya sebatas basa-basi,” ulas Haidar.
Terakhir, tegas Haidar, adalah faktor Jokowi.
Dalam pengamatan Haidar, PDIP mungkin menganggap Jokowi sebagai pengkhianat partai.
“Mulai dari dukungan terhadap Prabowo, pencalonan Gibran sebagai Cawapres Prabowo hingga pemecatan Bobby Nasution sebagai kader PDIP karena terang-terangan mendukung Prabowo-Gibran.
“Bagi Megawati dan PDIP, semua itu mungkin berbau pengkhianatan. Tapi menurut saya, Jokowi justru berusaha memenuhi salah satu isi perjanjian batu tulis antara Megawati dengan Prabowo,” pungkas Haidar Alwi. (***)