Oleh: Jamiluddin Ritonga (*)
Universitas Indonesia (UI) yang menangguhkan kelulusan gelar doktor Bahlil Lahadalia layak diapresiasi.
UI memang harus melakukan hal itu untuk menjaga reputasi akademiknya. Sebab, UI selama ini menjadi salah satu barometer mutu pendidikan di tanah air. Karena itu, UI tentu tak ingin namanya tercoreng hanya karena meluluskan seseorang yang yang dinilai belum layak diluluskan.
Ketegasan UI kiranya layak diikuti kampus lain di tanah air. Hal itu perlu dilakukan karena saat ini banyak lulusan doktor yang kualitasnya diragukan.
Ada kesan sebagian lulusan doktor (S3) dalam negeri kualitasnya tak jauh beda dengan lulusan master (S2). Hal itu setidaknya bisa dilihat dari kualitas disertasi yang tak jauh berbeda dengan thesis.
Kecenderungan yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan S2 dan S1. Banyak thesis yang kualitasnya tak jauh beda dengan skripsi.
Hal itu terjadi tentu disebabkan banyak faktor. Salah satunya, karena ada kewajiban keluaran antar input dan output. Kalau hal ini tidak dipenuhi dapat berpengaruh terhadap akreditasi perguruan tinggi.
Akibatnya, sebagian kampus melakukan “cuci gudang” bila input dan output tidak seimbang. Mahasiswa yang tak layak didorong untuk sidang, meskipun karya ilmiahnya belum layak.
Perguruan tinggi seolah salah bila tidak bisa mengantarkan mahasiswa lulus sarjana atau master atau doktor. Padahal tidak semua orang harus menjadi sarjana atau master atau doktor. Hanya mahasiswa yang punya kualifikasi akademik tertentu saja yang memang layak lulus.
Jadi, selama aturan input dan output itu masih dijadikan salah satu penilaian akreditasi, maka peluang cuci gudang akan terjadi di perguruan tinggi. Hal itu akan menambah banyaknya sarjana atau master atau doktor yang kualitasnya diragukan.
Kalau doktor dan master seperti itu yang mengajar di perguruan tinggi, maka dapat dipastikan akan terjadi penurunan kualitas pada lulusan berikutnya. Hal ini tentunya akan semakin menurunkan kualitas perguruan di tanah air.
Hal itu terjadi karena mereka sebenarnya belum cukup layak untuk mengajar di S1 atau S2 atau S3. Mereka hanya punya “SIM” tapi ilmu mereka belum cukup untuk menjadi dosen di S1 atau S2 atau S3.
Hal itu terjadi karena perguruan tinggi kerap hanya melihat gelar dosen dari sisi administratif, bukan kualifikasi akademiknya. Semua itu harus dipenuhi untuk memenuhi salah satu persyaratan akreditasi. Semakin banyak dosen bergelar doktor, maka semakin tinggi nilai akreditasinya.
Semua itu membuat idealisme perguruan tinggi kerap menjadi terdegradasi. Perguruan tinggi akhirnya menjadi lebih pragmatis dengan merekrut dosen bergelar doktor untuk pemenuhan administratif.
Kalau kampus sudah terkikis idealismenya, maka yang tak layak lulus juga “dipaksa” diluluskan. Dosen yang idealis justru dipersalahkan karena tak meluluskan mahasiswa semacam itu.
Akibatnya, kampus berubah menjadi pabrik. Proses input dan output diberlakukan. Karena itu, yang tak layak pun harus diluluskan. Inilah dilema perguruan tinggi saat ini.
*Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul dan Dekan Fikom IISIP 1996-1999