JAKARTA l Racikan.id – Banyaknya siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang belum bisa membaca dan menulis di sejumlah daerah di Indonesia membuat miris masyarakat tanah air.
Betapa tidak, di era globalisasi ini, pendidikan Indonesia justru semakin terpuruk.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian berharap, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melakukan investigasi mendalam.
“Bisa jadi memang di suatu sekolah, lingkungan, suatu daerah hasil belajarnya begitu rendah. Misalnya kasus anak-anak pada usia tertentu belum bisa mencapai suatu hasil belajar yang baik,” kata Hetifah kepada para wartawan, Selasa (29/10/2024).
Akan tetapi, lanjut Hetifah, kalau ternyata kasus itu merupakan kasus khusus, karena setiap anak kan berbeda-beda, bisa jadi anak memiliki kebutuhan khusus.
“Bisa jadi tidak didukung oleh iklim pendidikan yang kondusif di sana,” jelas Politisi Partai Golkar ini.
Hetifah mempertanyakan, apakah akar dari permasalahan tersebut benar-benar dari Kurikulum Merdeka?
“Jadi akarnya apa? Kalau banyak apakah lebih dari satu, ada 10 anak seperti itu atau ada 50 persen anak kita yang usia segitu tidak bisa membaca. Jadi, tidak menyimpulkan sesuatu banyak ini, berarti kurikulumnya gagal,” cetus Hetifah.
Hetifah berjanji Komisi X DPR RI juga akan mengevaluasi Kurikulum Merdeka pada bagian-bagian tertentu.
“Misalnya ada keluhan guru, karena dia harus belajar lagi dan mengeluh karena waktu tidak banyak sehingga tersedot. Tapi di sisi lain kita tidak ingin guru tidak meningkatkan kompetensi barunya. Karena sekarang tuntutan mereka sangat tinggi pasca Covid. Jadi nanti itu bagian dari diskusi kita ya,” ucap Hetifah.
Hetifah berharap tidak ada kesimpulan yang sifatnya nihilisme begitu.
“Pokoknya kurikulum merdeka diganti karena menterinya jelek. Tidak begitu. Atau kembali kepada kurikulum sebelumnya. Kalau pun ada perubahan kurikulum lagi, apa yang mau diperbaiki dari sebelumnya,” ucap Hetifah.
Mengenai keluhan dari masyarakat tentang terlalu banyaknya administrasi dan kurangnya interaksi guru dengan murid, Hetifah tak mau terlalu menanggapinya.
“Apa kita mau kembali ke kurikulum 90-an, Padahal kita sekarang berubah sekali situasinya. Pada waktu itu belum ada teknologi dan tuntutan anak di dunia kerja dan dorong anak mengkritisi serta ingin mereka lebih banyak menjadi enterpreuner dan sebagainya,” cetus Hetifah.
Kalau kembali kepada metode pembelajaran yang satu arah dan sangat menekankan guru tahu segalanya dan anak itu menerima, tambah Hetifah, mungkin itu cocok di tahun 90-an.
“Apa benar kita mau kembali ke masa itu? Saya yakin orangtua belum tentu menerima dan guru-guru juga belum tentu menerima. Jadi kita sekarang terbuka saja. Jadi tidak A atau B pilihannya. Tapi ada opsi C karena banyak hal yang sudah berubah,” tukas Hetifah Sjafudian. (***)