Oleh: Hikmahanto Juwana (*)
Presiden Prabowo di AS menyampaikan kepada para wartawan, “Laut China Selatan kita bahas, saya katakan kita ingin kerja sama dengan semua pihak. Kita menghormati semua kekuatan, tapi kita juga akan tetap mempertahankan kedaulatan kita”.
Pernyataan tersebut kemungkinan merujuk pada keteledoran staf dalam pembuatan Joint Statement antara Pemerintah Indonesia dan Tiongkok yang dalam paragraf 9 menyebut Klaim Tumpang Tindih Tiongkok dengan Indonesia.
Dalam Joint Statement tersebut juga disebutkan, di area tumpang tindih akan dilakukan pengembangan bersama (joint development). Padahal Indonesia tidak pernah memiliki zona maritim yang tumpang tindih dengan Tiongkok.
Pernyataan Presiden menunjukkan kualitas kenegarawanannya. Beliau dengan berani dan tanpa sungkan-sungkan mengoreksi atas kesalahan yang dibuat oleh stafnya.
Sebenarnya koreksi telah dilakukan dalam Joint Statement Presiden Indonesia dengan AS. Dalam Joint Statement tersebut dengan tegas disebutka bahwa di Laut China Selatan diberlakukan hukum internasional sebagaimana terrefleksi dalam UNCLOS.
Bahkan dalam Joint Statement tersebut dirujuk Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen tahun 2016. Inti dari keduanya China secara tidak sah berdasarkan UNCLOS melakukan klaim sepihak atas Sembilan Garis Putus.
Oleh karenanya Presiden Prabowo patut diapresiasi atas ketegasan dan mau bertanggung jawab atas keteledoran pihak yang menyodorkan ide Joint Development.
Sudah sepatutnya siapapun yang memunculkan atau membenarkan Indonesia melakukan Joint Development dengan Tiongkok secara ksatria menyampaikan kesalahannya dan menyampaikan pengunduran diri sebagai bentuk tanggung jawab.
Tujuan utamanya adalah di Indonesia harus ditradisikan agar para pejabat yang teledor atau salah bertanggung jawab.
Disamping itu pengunduran ini bertujuan sebagai damage control, sehingga Tiongkok tidak mengeksploitasi Joint Statement yang sudah disampaikan ke publik. Ini mengingat Tiongkok berkeinginan sekali agar Indonesia mengakui klaim sepihak mereka tanpa dasar hukum atas Sembilan (sekarang Sepuluh) Garis Putus.
Pengunduran diri juga untuk menunjukkan kepada negara-negara yang selama ini mengapresiasi posisi Indonesia yang tidak mengakui Sembilan Garis Putus bahwa Indonesia masih konsisten dengan kebijakannya selama ini.
*Penulis adalah Guru Besar Hukum Internasional UI