Oleh: Jamiluddin Ritonga (*)
Airlangga Hartarto dikabarkan mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum Golkar.
Kalau benar Airlangga mundur, tentu tidak mengagetkan. Sebab, sebelumnya sudah santer adanya faksi-faksi di Golkar yang mendesak Airlangga mundur.
Desakan beberapa faksi Golkar tampaknya wajar. Sebab, Airlangga terkesan sudah terlalu dekat dengan Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Hal itu membuat Airlangga dalam membuat keputusan sudah tidak independen.
Airlangga terkesan lebih mengikuti kehendak Jokowi dan Prabowo. Indikasi itu terlihat dalam Pilgub Sumatera Utara, Airlangga begitu bersemangat mengusung Bobby Nasution.
Bahkan ketika Kaesang Pangarep berkunjung ke Golkar, Airlangga terkesan menawarkan putra Jokowi itu untuk maju di Pilkada Jakarta. Bahkan, Airlangga menawarkan Jusuf Hamka jadi wakil Kaesang.
Di Jawa Barat, Airlangga mengorbankan kadernya Ridwan Kamil dengan mengusung Dedi Mulyadi yang bukan kadernya. Celakanya, Airlangga mengusung Dedi yang elektabilitasnya jauh di bawah Ridwan Kamil. Bahkan Airlangga mengusung Dedi yang dulu kadernya yang kemudian membelot ke Gerindra.
Sebagai Ketua Umum Golkar tentu kontralogika bila mendahulukan kader lain yang elektabilitasnya di bawah kadernya. Ini mengindikasikan Airlangga mendahulukan kader lain daripada kadernya sendiri.
Airlangga melakukan hal itu terkesan karena lebih mendahulukan kepentingan Jokowi dan Prabowo daripada partainya. Hal itu bisa saja melukai para kader Golkar.
Loyalitas Airlangga terkesan lebih condong ke eksternal, bukan ke internal Golkar. Mungkin hal itu membuat faksi-faksi di Golkar memintanya mundur sebagai ketua umum.
Karena itu, kalau Airlangga benar mundur, tentu hal itu dapat membuat Golkar menjadi lebih baik. Harapannya, Golkar mendapat ketua umum yang independen dan loyal ke partainya.
*Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul dan Dekan Fikom IISIP 1996-1999