Oleh: Jamiluddin Ritonga (*)
Investigative reporting itu dapat mengungkap atau membongkar sesuatu yang ditutup-tutupi. Hal itu tentu dapat menyasar siapa saja, termasuk di gedung DPR RI dan orang yang ada di dalamnya.
Karena itu, investigative reporting bagi sebagian orang sebagai ancaman. Ia bisa seperti pisau bermata dua. Bisa mengena ke orang lain, tapi juga bisa melukai diri sendiri.
Hal itu bisa jadi menakutkan bagi sebagian anggota dewan. Mereka khawatir investigative reporting bisa menyasar mereka, termasuk kelompoknya.
Tapi bila mereka tidak ada yang ditutup-ditutupi, seharusnya tidak perlu takut adanya investigative reporting. Seharusnya anggota dewan akan merasa terbantu karena melalui investigative reporting akan diperoleh data yang lebih akurat.
Bagi wartawan dapat melakukan investigative reporting merupakan kebanggaan. Sebab, tidak semua wartawan mampu melakukannya.
Bahkan, hasil investigatif reporting dapat menjadi bukti sejarah. Contohnya, kasus korupsi Pertamina zaman Ibnu Soetowo, yang diungkap oleh Harian Indonesia Raya.
Jadi, investigatif reporting dapat mengungkap persoalan-persoalan besar yang ditutupi. Celakanya yang kerap menutupi justru orang yang punya kekuasaan.
Mungkin itu sebabnya mereka risih dengan kemerdekaan pers, khususnya praktik investigative reporting. Bagi mereka kemerdekaan pers bisa mengancam dirinya atau kelompoknya.
*Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jakarta